SKAKMAT UNTUK PDIP! TIA RAHMANIA MENANG GUGATAN, KURSI DPR BISA DIREBUT KEMBALI

 

Sumber Foto: detik.com

WARTAALENGKA, Cianjur Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan mantan kader PDI Perjuangan, Tia Rahmania, terhadap Mahkamah Partai PDIP dan sejumlah pihak lainnya. Majelis hakim menyatakan bahwa Tia tidak terbukti melakukan penggelembungan suara dalam Pemilu Legislatif 2024, sebagaimana yang dituduhkan sebelumnya.

Kasus ini bermula ketika Tia Rahmania, calon anggota DPR RI terpilih dari daerah pemilihan Banten I, dipecat oleh PDIP karena diduga terlibat dalam penggelembungan suara. Akibat pemecatan tersebut, posisinya digantikan oleh Bonnie Triyana, caleg PDIP dengan perolehan suara terbanyak kedua di dapil yang sama.

Merasa tidak bersalah, Tia menggugat Mahkamah Partai PDIP, Bonnie Triyana, dan Mochamad Hasbi Asyidiki Jayabaya ke PN Jakarta Pusat. Gugatan tersebut terdaftar dengan nomor perkara 603/Pdt.Sus-Parpol/2024/PN.Jkt.Pst. Dalam gugatannya, Tia juga menyertakan DPP PDIP, KPU RI, dan Bawaslu Provinsi Banten sebagai turut tergugat.

Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa Tia Rahmania tidak terbukti melakukan penggelembungan suara sebanyak 1.629 suara, sebagaimana yang disebutkan dalam putusan Mahkamah Partai PDIP. Hakim juga menyatakan bahwa Tia adalah pemilik suara sah berdasarkan Formulir D Hasil Pleno Tingkat KPU Kabupaten Lebak dan Pandeglang, dengan total perolehan suara sebanyak 37.359.

Meskipun memenangkan gugatan, Tia Rahmania belum otomatis menjadi anggota DPR melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW). Ketua KPU RI, Afifuddin, menjelaskan bahwa putusan pengadilan tersebut tidak serta-merta menjadikan Tia sebagai anggota DPR, karena gugatan yang diajukan Tia berkaitan dengan pemberhentiannya sebagai anggota partai, bukan sebagai anggota DPR.

Wakil Ketua KPU, Idham Holik, menambahkan bahwa pelaksanaan PAW anggota DPR harus merujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Menurutnya, norma tersebut masih berlaku karena belum ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan sebaliknya

Menanggapi putusan PN Jakarta Pusat, PDIP menyatakan bahwa putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap (inkracht) karena pihaknya telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 20 Maret 2025. PDIP juga menegaskan bahwa sengketa internal partai semestinya diselesaikan melalui Mahkamah Partai, bukan melalui jalur pengadilan umum.

Ketua DPP PDIP, Djarot Saiful Hidayat, menegaskan bahwa pemecatan Tia Rahmania tidak terkait dengan kritik yang pernah disampaikan Tia terhadap Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron. Menurut Djarot, pemecatan tersebut murni karena perselisihan internal partai yang diselesaikan melalui Mahkamah Partai.

Kasus Tia Rahmania menjadi sorotan publik karena menimbulkan pertanyaan mengenai mekanisme internal partai politik dalam menyelesaikan sengketa dan dampaknya terhadap proses demokrasi. Banyak pihak yang menilai bahwa kasus ini dapat menjadi preseden penting dalam penegakan keadilan bagi kader partai yang merasa dirugikan oleh keputusan internal partai.

Tia Rahmania sendiri menyatakan bahwa gugatannya bukan semata-mata untuk merebut kembali kursi DPR, melainkan untuk menegakkan keadilan dan membersihkan namanya dari tuduhan yang tidak berdasar. Ia berharap putusan pengadilan ini dapat menjadi pelajaran bagi partai politik dalam memperlakukan kadernya secara adil dan transparan.

Dalam perkembangan terbaru, Mahkamah Agung telah menerima permohonan kasasi dari PDIP terkait putusan PN Jakarta Pusat yang memenangkan Tia Rahmania. Proses hukum masih berlangsung, dan hasil kasasi akan menentukan langkah selanjutnya dalam kasus ini.

Sementara itu, KPU RI menyatakan akan menunggu hasil kasasi sebelum mengambil keputusan terkait status keanggotaan Tia Rahmania di DPR. KPU menegaskan bahwa pihaknya akan tetap mematuhi ketentuan hukum yang berlaku dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

Kasus ini juga menarik perhatian para ahli hukum dan pengamat politik yang menilai bahwa perlu ada pembenahan dalam mekanisme penyelesaian sengketa internal partai politik. Mereka berpendapat bahwa transparansi dan akuntabilitas dalam proses tersebut sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap partai politik.

Selain itu, kasus Tia Rahmania juga menjadi momentum untuk mengevaluasi peran Mahkamah Partai dalam menyelesaikan perselisihan internal. Beberapa pihak mengusulkan agar Mahkamah Partai memiliki standar operasional prosedur yang lebih jelas dan mekanisme pengawasan yang lebih ketat.

Di sisi lain, kasus ini juga menunjukkan pentingnya peran pengadilan dalam memberikan keadilan bagi warga negara yang merasa dirugikan oleh keputusan internal organisasi atau institusi. Putusan PN Jakarta Pusat yang memenangkan Tia Rahmania menjadi contoh bagaimana sistem peradilan dapat menjadi penyeimbang dalam kehidupan demokrasi.

Tia Rahmania berharap bahwa kasusnya dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk tidak takut memperjuangkan keadilan melalui jalur hukum. Ia juga mengajak partai politik untuk lebih menghargai hak-hak anggotanya dan menjalankan proses internal secara adil dan transparan.

Dalam waktu dekat, Mahkamah Agung akan segera memutuskan hasil kasasi yang diajukan oleh DPP PDI Perjuangan. Keputusan MA ini menjadi penentu apakah kemenangan Tia Rahmania di pengadilan tingkat pertama akan tetap berlaku atau dibatalkan.

Sembari menanti putusan MA, Tia Rahmania terus melakukan komunikasi politik dengan berbagai pihak, termasuk masyarakat pemilih di Dapil Banten I yang telah mempercayainya dalam Pemilu 2024 lalu. Ia mengaku tetap fokus untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, baik melalui jalur formal maupun gerakan sosial di luar parlemen.

Di kalangan masyarakat, simpati terhadap Tia Rahmania terus mengalir. Banyak yang menilai bahwa Tia adalah sosok muda perempuan yang berani melawan ketidakadilan di dalam tubuh partai besar. Tagar dukungan seperti #KeadilanUntukTia dan #TiaMenangHukum sempat trending di media sosial beberapa waktu lalu.

Pakar politik dari Universitas Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menilai bahwa kasus ini menunjukkan bahwa konflik internal partai tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan kekuasaan internal. “Ini adalah peringatan bagi semua partai politik untuk memperkuat mekanisme keadilan internalnya agar tidak melahirkan korban seperti Tia Rahmania,” ujarnya.

Sementara itu, pengamat hukum tata negara, Bivitri Susanti, menekankan bahwa posisi pengadilan umum tetap memiliki kewenangan dalam menyidangkan perkara keanggotaan partai jika menyangkut hak sipil dan politik warga negara. “Selama tidak menyangkut kebijakan internal yang bersifat strategis, pengadilan bisa masuk,” katanya.

Kasus ini juga memicu diskusi di kalangan aktivis perempuan. Mereka menilai bahwa perempuan dalam politik masih menghadapi banyak tantangan, tidak hanya dari luar, tapi juga dari dalam institusi yang seharusnya mendukung partisipasi mereka. Tia dianggap sebagai simbol keberanian perempuan dalam melawan praktik patriarkal dalam politik.

Sebagai informasi, Tia Rahmania merupakan salah satu caleg perempuan muda yang mencuri perhatian dalam Pemilu 2024. Ia berhasil memperoleh suara terbanyak di Dapil Banten I, mengalahkan sejumlah nama besar lainnya. Kiprahnya sebagai aktivis perempuan dan penggiat literasi digital menjadi nilai tambah di mata pemilih muda.

Namun karier politiknya justru mengalami gejolak ketika Mahkamah Partai PDIP memutuskan memecatnya dengan alasan penggelembungan suara. Padahal, dalam berbagai tahapan rekapitulasi KPU, nama Tia tercatat mendapatkan suara sah terbanyak, sesuai formulir hasil pleno.

Keputusan Mahkamah Partai itu kemudian dijadikan dasar oleh DPP PDIP untuk mengajukan nama Bonnie Triyana sebagai pengganti Tia dalam proses PAW ke KPU. Namun karena gugatan Tia dimenangkan oleh PN Jakpus, proses PAW tersebut kini tertahan dan menunggu putusan final dari Mahkamah Agung.

Jika Mahkamah Agung menguatkan putusan PN Jakpus, maka besar kemungkinan Tia Rahmania akan kembali mendapatkan hak politiknya dan dilantik sebagai anggota DPR RI periode 2024–2029. Namun jika sebaliknya, maka Bonnie Triyana bisa melenggang ke Senayan menggantikan posisi Tia.

Tia sendiri mengaku tidak ingin larut dalam konflik. Ia menyatakan ingin menyudahi semua polemik ini dengan cara yang konstitusional, serta berharap semua pihak menghormati proses hukum yang sedang berjalan.

Sebagai penutup, ia kembali menegaskan bahwa perjuangannya bukan sekadar soal kursi DPR, tapi demi keadilan dan martabat politik yang sehat. “Saya ingin memberi pesan bahwa kita semua, termasuk perempuan muda, punya hak untuk bersuara dan mendapatkan keadilan,” ujarnya. (WA/ Ow)


Lebih baru Lebih lama