WARTAALENGKA,
Cianjur – Sejumlah sejarawan dan peneliti menyuarakan keberatan
atas kebiasaan menyebut United Kingdom sebagai "Inggris" di
Indonesia. Mereka menegaskan bahwa UK mencakup wilayah lain di Kepulauan
Britania seperti Irlandia Utara, Skotlandia, dan Wales.
“Penyebutan
itu pada dasarnya merendahkan, mengesampingkan, dan menghapus eksistensi
negara-negara lain yang tergabung dalam United Kingdom,” tutur Peter Carey,
seorang sejarawan berdarah Irlandia dan Skotlandia, kepada BBC News Indonesia.
Peter
tidak menyalahkan masyarakat Indonesia secara langsung, namun ia memprotes
karena praktik ini juga dilakukan oleh Kedutaan Besar UK di Jakarta, yang
secara resmi menggunakan nama "Kedutaan Besar Inggris Raya di
Jakarta".
“Itu
seolah-olah seperti pemerintah Indonesia merilis pernyataan tapi menyebut
institusinya sebagai Jawa Raya. Tidak logis,” ujar Peter.
Kedutaan
Besar UK di Jakarta menyatakan telah mengetahui keberatan ini, namun tetap
mempertahankan istilah “Inggris” karena dianggap lebih dikenal masyarakat
Indonesia.
Sementara
itu, Christophe Dorigne-Thomson dari Partai Buruh UK menyebut fenomena serupa
terjadi juga di banyak negara lain. Ia menyerukan agar pemerintah UK mencari
terjemahan yang lebih tepat untuk UK di Indonesia.
United
Kingdom, Britania Raya, dan Inggris Raya: Apa Bedanya?
Situs
resmi Perdana Menteri UK menjelaskan bahwa United Kingdom merupakan “sebuah
negara yang terdiri dari beberapa negara.”
Penjelasan
di situs tersebut menyatakan bahwa UK terdiri atas empat negara berdaulat:
Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara.
Sebaliknya,
istilah Britania Raya hanya mencakup tiga di antaranya—Inggris, Skotlandia, dan
Wales—tanpa memasukkan Irlandia Utara.
“Jadi,
menyebut United Kingdom sebagai Inggris sama saja seperti menyebut Indonesia
hanya sebagai Jawa. Memang Jawa berpenduduk terbanyak dan pusat ekonomi, tapi
itu bukan keseluruhan Indonesia,” jelas Peter.
“Kalau
seorang WNI pergi ke London lalu melihat nama kedutaan kita disebut Kedutaan
Besar Jawa Raya, pasti akan merasa tersinggung. Hal yang sama berlaku untuk
istilah 'Inggris',” tambahnya.
Peter
menegaskan bahwa pemilihan nama bukan sekadar teknis.
“Orang
Romawi punya pepatah ‘Nomen est Omen’—nama membawa makna, baik yang nyata
maupun tersembunyi,” katanya.
Ia
pun menjelaskan bahwa masing-masing wilayah seperti Inggris, Skotlandia,
Irlandia Utara, dan Wales memiliki sejarah panjang dan identitas politik
tersendiri hingga saat ini.
Sejak
abad ke-10, Skotlandia kerap menjadi sasaran invasi Inggris. Hingga akhirnya
pada 1707, parlemen kedua negara menyetujui pembentukan kerajaan bersama
bernama "Great Britain" atau Britania Raya.
Irlandia
kala itu belum tergabung, namun melalui Undang-Undang Poynings, parlemen
Irlandia tetap berada dalam pengaruh Inggris.
Kemudian,
pada 1782, kedua parlemen menyepakati Konstitusi baru yang memisahkan
kewenangan legislatif Irlandia dari Inggris.
Situasi
berubah lagi pada 1798 ketika Irlandia menghadapi pemberontakan serta ancaman
invasi dari Prancis.
Untuk
meredam gejolak tersebut, parlemen Inggris dan Irlandia menyetujui
Undang-Undang Penyatuan 1800, yang membuat Irlandia bergabung dengan Britania
Raya.
Namun,
ketegangan terus berlanjut hingga akhirnya pada 1922 Irlandia terpecah—Irlandia
Utara bergabung dengan Britania Raya, sedangkan Republik Irlandia memilih
merdeka.
Sejak
tahun 1927, nama resmi negara ini menjadi United Kingdom of Great Britain and
Northern Ireland, disingkat United Kingdom.
Peter
mengungkapkan bahwa penyebutan “Inggris” sudah lama digunakan masyarakat
Indonesia sejak era pelayaran Portugis pada abad ke-16.
“Masyarakat
Indonesia tidak keliru, tapi setelah Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit), di
era modern dan sadar identitas seperti sekarang, isu nama menjadi sangat
krusial,” jelas Peter.
Peter
mengatakan bahwa kesadaran ini baru muncul setelah UK resmi keluar dari Uni
Eropa pada 2019.
Kala
itu, banyak warga Skotlandia dan Irlandia Utara menolak Brexit karena dianggap
akan merugikan mereka secara ekonomi.
Pasca-Brexit,
isu identitas negara-negara bagian UK kembali mencuat.
Peter
mulai mencermati surat-surat dari Kedutaan Besar UK di Jakarta yang tetap
menggunakan istilah “Inggris Raya”.
“Saat
ini, penggunaan istilah ‘Inggris’ dalam surat resmi atau undangan sudah tak
bisa diterima lagi,” tegasnya.
“Ini
sama saja dengan merendahkan komunitas non-Inggris seperti ayah saya dari
Irlandia dan ibu saya dari Skotlandia.”
Kritik
terhadap Respons Kedutaan Besar UK
Pihak
Kedutaan Besar UK di Jakarta mengakui telah mengetahui protes dan desakan dari
warganya.
“Kami
menyadari adanya permintaan-permintaan ini,” ungkap Faye Belnis, juru bicara
Kedubes UK, dalam pernyataan tertulis kepada BBC News Indonesia.
Namun,
Faye menegaskan bahwa istilah “Inggris” tetap digunakan karena sudah lazim dan
dapat dipahami masyarakat Indonesia.
Faye
tidak menjawab pertanyaan mengenai tindak lanjut Kedubes terhadap protes
tersebut.
Ia
juga tidak merespons pertanyaan mengenai apakah Kedubes telah berkomunikasi
dengan pemerintah Indonesia terkait masalah ini.
Peter
telah menyampaikan secara langsung kekhawatirannya kepada Duta Besar UK untuk
Indonesia, Dominic Jermey, pada Februari lalu.
BBC
News Indonesia melihat isi balasan Dominic yang menyebut bahwa masalah ini
sedang dalam pembahasan internal Kedubes.
“Dalam
konteks komunikasi publik, kami masih memakai istilah ‘Inggris’ karena lebih
mudah dipahami masyarakat Indonesia,” tulis Dominic.
Namun,
ia menambahkan bahwa dalam komunikasi formal dan resmi, terjemahan yang lebih
tepat tetap digunakan, meskipun kebijakan ini masih dalam tahap evaluasi.
Peter
dan Christophe Dorigne-Thomson menyayangkan pernyataan tersebut.
Menurut
mereka, pembelaan Dominic tidak bisa diterima secara etis maupun politis.
“Pembelaan
bahwa penyebutan ‘Inggris’ dipakai demi memudahkan komunikasi justru
mencerminkan kegagalan representasi yang adil,” kata Christophe.
Kendati
demikian, Christophe memahami bahwa Kedubes hanya mewakili kebijakan pemerintah
pusat.
Oleh
karena itu, ia mendorong pemerintah pusat UK untuk mencari padanan kata yang
tepat untuk digunakan di tiap negara.
Apa
Padanan Kata yang Paling Tepat dalam Bahasa Indonesia?
Menurut
Peter, terjemahan yang akurat untuk United Kingdom dalam bahasa Indonesia
adalah "Kerajaan Bersatu".
“Dengan
menggunakan ‘Kerajaan Bersatu’, kita bisa membedakan antara UK dan Britania
Raya, yang tidak mencakup Irlandia Utara,” jelas Peter.
Namun,
ia menyatakan bahwa penyebutan ini sebaiknya dirumuskan berdasarkan konsensus
penggunaan bahasa Indonesia secara umum.
Peter
yang telah tinggal di Indonesia selama puluhan tahun juga telah menyampaikan
saran tersebut dalam beberapa surat kepada Dubes Dominic.
Dalam
salah satu suratnya, ia mencontohkan Madagaskar sebagai negara yang berhasil
mengganti istilah “Inggris” dengan padanan yang lebih akurat.
Di
Madagaskar, masyarakatnya biasa menyebut orang UK sebagai “Anglesi” atau
“Inggris”.
Namun,
Kedutaan Besar UK di sana memilih menggunakan istilah resmi
"Royaume-Uni", bukan “Inggris”.
“Meski
istilah ‘Inggris’ masih lazim di kalangan umum, Kedutaan Besar di Madagaskar
telah mengambil langkah untuk menggunakan terminologi yang lebih tepat secara
politis,” ucap Peter.
Kendati
demikian, banyak negara lain masih menggunakan istilah serupa untuk merujuk UK.
Christophe
menyebut bahwa di Jepang UK dikenal sebagai Igirisu, dalam bahasa Swahili
disebut Uingresa, dalam bahasa Mandarin disebut Yinggui, dan di Korea Selatan
disebut Yeong-guk.
Ia
mencatat bahwa sekitar 2,8 miliar penduduk dunia masih menggunakan padanan kata
Inggris untuk menyebut UK.
Menurutnya,
hal ini merupakan bentuk pengabaian secara linguistik terhadap eksistensi
Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara.
“Ini
bukan hanya pengingkaran terhadap kenyataan konstitusional UK, tapi juga
melanggar norma diplomatik dan prinsip hak asasi manusia,” kata Christophe.
Langkah
Politik dari Partai Buruh Internasional
Melihat
kondisi yang ia sebut tidak adil ini, Christophe memimpin usulan di Partai
Buruh Internasional UK agar menyatakan keberatan atas penggunaan istilah
“Inggris” untuk menyebut UK di dunia internasional.
Sayap
internasional Partai Buruh menyetujui usulan tersebut pada Januari lalu.
Isi
tuntutannya antara lain agar pemerintah UK mengakui bahwa penyebutan “Inggris”
merupakan bentuk diskriminasi terhadap warga non-Inggris dalam UK.
Mereka
juga mendesak agar entitas seperti British Council dan BBC dilarang menggunakan
istilah “Inggris” dalam konteks mewakili UK secara keseluruhan.
“Kampanye
ini merupakan bagian dari perjuangan untuk keadilan di dalam UK, sesuai
nilai-nilai dasar Partai Buruh tentang kesetaraan, inklusivitas, dan
akuntabilitas,” ujar Christophe dalam pesan tertulisnya kepada BBC News
Indonesia.
Usulan
tersebut akan dibawa ke Konferensi Tahunan Partai Buruh yang dijadwalkan
berlangsung pada 28 September hingga 1 Oktober mendatang dan ditujukan kepada
Perdana Menteri Keir Starmer.
Tak
hanya itu, Christophe telah mengajukan protes ke Komite HAM PBB serta sejumlah
perwakilan khusus lainnya.
Ia
juga mengadukan isu ini ke berbagai lembaga di bawah Dewan Eropa seperti Komisi
Anti-Rasisme dan Intoleransi, Sekretariat HAM Commonwealth, serta Kantor HAM
dan Demokrasi.
“Jika UK ingin dihormati sebagai kekuatan dunia, maka UK harus terlebih dahulu menghormati dirinya sendiri,” tutup Christophe. (WA/ Ow)