SEJARAWAN KRITIK PENYEBUTAN 'INGGRIS' DI INDONESIA – 'MENGABAIKAN IRLANDIA UTARA, SKOTLANDIA, DAN WALES'

 

Sumber Foto: Flicker

WARTAALENGKA, Cianjur – Sejumlah sejarawan dan peneliti menyuarakan keberatan atas kebiasaan menyebut United Kingdom sebagai "Inggris" di Indonesia. Mereka menegaskan bahwa UK mencakup wilayah lain di Kepulauan Britania seperti Irlandia Utara, Skotlandia, dan Wales.

“Penyebutan itu pada dasarnya merendahkan, mengesampingkan, dan menghapus eksistensi negara-negara lain yang tergabung dalam United Kingdom,” tutur Peter Carey, seorang sejarawan berdarah Irlandia dan Skotlandia, kepada BBC News Indonesia.

Peter tidak menyalahkan masyarakat Indonesia secara langsung, namun ia memprotes karena praktik ini juga dilakukan oleh Kedutaan Besar UK di Jakarta, yang secara resmi menggunakan nama "Kedutaan Besar Inggris Raya di Jakarta".

“Itu seolah-olah seperti pemerintah Indonesia merilis pernyataan tapi menyebut institusinya sebagai Jawa Raya. Tidak logis,” ujar Peter.

Kedutaan Besar UK di Jakarta menyatakan telah mengetahui keberatan ini, namun tetap mempertahankan istilah “Inggris” karena dianggap lebih dikenal masyarakat Indonesia.

Sementara itu, Christophe Dorigne-Thomson dari Partai Buruh UK menyebut fenomena serupa terjadi juga di banyak negara lain. Ia menyerukan agar pemerintah UK mencari terjemahan yang lebih tepat untuk UK di Indonesia.

United Kingdom, Britania Raya, dan Inggris Raya: Apa Bedanya?

Situs resmi Perdana Menteri UK menjelaskan bahwa United Kingdom merupakan “sebuah negara yang terdiri dari beberapa negara.”

Penjelasan di situs tersebut menyatakan bahwa UK terdiri atas empat negara berdaulat: Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara.

Sebaliknya, istilah Britania Raya hanya mencakup tiga di antaranya—Inggris, Skotlandia, dan Wales—tanpa memasukkan Irlandia Utara.

“Jadi, menyebut United Kingdom sebagai Inggris sama saja seperti menyebut Indonesia hanya sebagai Jawa. Memang Jawa berpenduduk terbanyak dan pusat ekonomi, tapi itu bukan keseluruhan Indonesia,” jelas Peter.

“Kalau seorang WNI pergi ke London lalu melihat nama kedutaan kita disebut Kedutaan Besar Jawa Raya, pasti akan merasa tersinggung. Hal yang sama berlaku untuk istilah 'Inggris',” tambahnya.

Peter menegaskan bahwa pemilihan nama bukan sekadar teknis.

“Orang Romawi punya pepatah ‘Nomen est Omen’—nama membawa makna, baik yang nyata maupun tersembunyi,” katanya.

Ia pun menjelaskan bahwa masing-masing wilayah seperti Inggris, Skotlandia, Irlandia Utara, dan Wales memiliki sejarah panjang dan identitas politik tersendiri hingga saat ini.

Sejak abad ke-10, Skotlandia kerap menjadi sasaran invasi Inggris. Hingga akhirnya pada 1707, parlemen kedua negara menyetujui pembentukan kerajaan bersama bernama "Great Britain" atau Britania Raya.

Irlandia kala itu belum tergabung, namun melalui Undang-Undang Poynings, parlemen Irlandia tetap berada dalam pengaruh Inggris.

Kemudian, pada 1782, kedua parlemen menyepakati Konstitusi baru yang memisahkan kewenangan legislatif Irlandia dari Inggris.

Situasi berubah lagi pada 1798 ketika Irlandia menghadapi pemberontakan serta ancaman invasi dari Prancis.

Untuk meredam gejolak tersebut, parlemen Inggris dan Irlandia menyetujui Undang-Undang Penyatuan 1800, yang membuat Irlandia bergabung dengan Britania Raya.

Namun, ketegangan terus berlanjut hingga akhirnya pada 1922 Irlandia terpecah—Irlandia Utara bergabung dengan Britania Raya, sedangkan Republik Irlandia memilih merdeka.

Sejak tahun 1927, nama resmi negara ini menjadi United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland, disingkat United Kingdom.

Peter mengungkapkan bahwa penyebutan “Inggris” sudah lama digunakan masyarakat Indonesia sejak era pelayaran Portugis pada abad ke-16.

“Masyarakat Indonesia tidak keliru, tapi setelah Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit), di era modern dan sadar identitas seperti sekarang, isu nama menjadi sangat krusial,” jelas Peter.

Peter mengatakan bahwa kesadaran ini baru muncul setelah UK resmi keluar dari Uni Eropa pada 2019.

Kala itu, banyak warga Skotlandia dan Irlandia Utara menolak Brexit karena dianggap akan merugikan mereka secara ekonomi.

Pasca-Brexit, isu identitas negara-negara bagian UK kembali mencuat.

Peter mulai mencermati surat-surat dari Kedutaan Besar UK di Jakarta yang tetap menggunakan istilah “Inggris Raya”.

“Saat ini, penggunaan istilah ‘Inggris’ dalam surat resmi atau undangan sudah tak bisa diterima lagi,” tegasnya.

“Ini sama saja dengan merendahkan komunitas non-Inggris seperti ayah saya dari Irlandia dan ibu saya dari Skotlandia.”

Kritik terhadap Respons Kedutaan Besar UK

Pihak Kedutaan Besar UK di Jakarta mengakui telah mengetahui protes dan desakan dari warganya.

“Kami menyadari adanya permintaan-permintaan ini,” ungkap Faye Belnis, juru bicara Kedubes UK, dalam pernyataan tertulis kepada BBC News Indonesia.

Namun, Faye menegaskan bahwa istilah “Inggris” tetap digunakan karena sudah lazim dan dapat dipahami masyarakat Indonesia.

Faye tidak menjawab pertanyaan mengenai tindak lanjut Kedubes terhadap protes tersebut.

Ia juga tidak merespons pertanyaan mengenai apakah Kedubes telah berkomunikasi dengan pemerintah Indonesia terkait masalah ini.

Peter telah menyampaikan secara langsung kekhawatirannya kepada Duta Besar UK untuk Indonesia, Dominic Jermey, pada Februari lalu.

BBC News Indonesia melihat isi balasan Dominic yang menyebut bahwa masalah ini sedang dalam pembahasan internal Kedubes.

“Dalam konteks komunikasi publik, kami masih memakai istilah ‘Inggris’ karena lebih mudah dipahami masyarakat Indonesia,” tulis Dominic.

Namun, ia menambahkan bahwa dalam komunikasi formal dan resmi, terjemahan yang lebih tepat tetap digunakan, meskipun kebijakan ini masih dalam tahap evaluasi.

Peter dan Christophe Dorigne-Thomson menyayangkan pernyataan tersebut.

Menurut mereka, pembelaan Dominic tidak bisa diterima secara etis maupun politis.

“Pembelaan bahwa penyebutan ‘Inggris’ dipakai demi memudahkan komunikasi justru mencerminkan kegagalan representasi yang adil,” kata Christophe.

Kendati demikian, Christophe memahami bahwa Kedubes hanya mewakili kebijakan pemerintah pusat.

Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah pusat UK untuk mencari padanan kata yang tepat untuk digunakan di tiap negara.

Apa Padanan Kata yang Paling Tepat dalam Bahasa Indonesia?

Menurut Peter, terjemahan yang akurat untuk United Kingdom dalam bahasa Indonesia adalah "Kerajaan Bersatu".

“Dengan menggunakan ‘Kerajaan Bersatu’, kita bisa membedakan antara UK dan Britania Raya, yang tidak mencakup Irlandia Utara,” jelas Peter.

Namun, ia menyatakan bahwa penyebutan ini sebaiknya dirumuskan berdasarkan konsensus penggunaan bahasa Indonesia secara umum.

Peter yang telah tinggal di Indonesia selama puluhan tahun juga telah menyampaikan saran tersebut dalam beberapa surat kepada Dubes Dominic.

Dalam salah satu suratnya, ia mencontohkan Madagaskar sebagai negara yang berhasil mengganti istilah “Inggris” dengan padanan yang lebih akurat.

Di Madagaskar, masyarakatnya biasa menyebut orang UK sebagai “Anglesi” atau “Inggris”.

Namun, Kedutaan Besar UK di sana memilih menggunakan istilah resmi "Royaume-Uni", bukan “Inggris”.

“Meski istilah ‘Inggris’ masih lazim di kalangan umum, Kedutaan Besar di Madagaskar telah mengambil langkah untuk menggunakan terminologi yang lebih tepat secara politis,” ucap Peter.

Kendati demikian, banyak negara lain masih menggunakan istilah serupa untuk merujuk UK.

Christophe menyebut bahwa di Jepang UK dikenal sebagai Igirisu, dalam bahasa Swahili disebut Uingresa, dalam bahasa Mandarin disebut Yinggui, dan di Korea Selatan disebut Yeong-guk.

Ia mencatat bahwa sekitar 2,8 miliar penduduk dunia masih menggunakan padanan kata Inggris untuk menyebut UK.

Menurutnya, hal ini merupakan bentuk pengabaian secara linguistik terhadap eksistensi Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara.

“Ini bukan hanya pengingkaran terhadap kenyataan konstitusional UK, tapi juga melanggar norma diplomatik dan prinsip hak asasi manusia,” kata Christophe.

Langkah Politik dari Partai Buruh Internasional

Melihat kondisi yang ia sebut tidak adil ini, Christophe memimpin usulan di Partai Buruh Internasional UK agar menyatakan keberatan atas penggunaan istilah “Inggris” untuk menyebut UK di dunia internasional.

Sayap internasional Partai Buruh menyetujui usulan tersebut pada Januari lalu.

Isi tuntutannya antara lain agar pemerintah UK mengakui bahwa penyebutan “Inggris” merupakan bentuk diskriminasi terhadap warga non-Inggris dalam UK.

Mereka juga mendesak agar entitas seperti British Council dan BBC dilarang menggunakan istilah “Inggris” dalam konteks mewakili UK secara keseluruhan.

“Kampanye ini merupakan bagian dari perjuangan untuk keadilan di dalam UK, sesuai nilai-nilai dasar Partai Buruh tentang kesetaraan, inklusivitas, dan akuntabilitas,” ujar Christophe dalam pesan tertulisnya kepada BBC News Indonesia.

Usulan tersebut akan dibawa ke Konferensi Tahunan Partai Buruh yang dijadwalkan berlangsung pada 28 September hingga 1 Oktober mendatang dan ditujukan kepada Perdana Menteri Keir Starmer.

Tak hanya itu, Christophe telah mengajukan protes ke Komite HAM PBB serta sejumlah perwakilan khusus lainnya.

Ia juga mengadukan isu ini ke berbagai lembaga di bawah Dewan Eropa seperti Komisi Anti-Rasisme dan Intoleransi, Sekretariat HAM Commonwealth, serta Kantor HAM dan Demokrasi.

“Jika UK ingin dihormati sebagai kekuatan dunia, maka UK harus terlebih dahulu menghormati dirinya sendiri,” tutup Christophe. (WA/ Ow)


Lebih baru Lebih lama