PUTUSAN SEPARUH JALAN: POTRET DAMPAK MK TERHADAP INTEGRITAS PEMILU

Sumber Foto: Kawula17

WARTAALENGKA, Cianjur – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi perbincangan hangat setelah mengeluarkan putusan yang dinilai tidak tegas dalam menyikapi pasangan calon kepala daerah yang tersandung masalah hukum. MK menyatakan bahwa diskualifikasi hanya dapat diberlakukan kepada individu yang terbukti melakukan pelanggaran, bukan terhadap keseluruhan pasangan calon. Putusan ini menuai kritik dan mempertanyakan sejauh mana komitmen lembaga tersebut dalam menjaga integritas dan keadilan dalam sistem demokrasi kita.

Dalam konteks pemilihan kepala daerah, pasangan calon diajukan dan dipilih sebagai satu kesatuan. Namun, dengan putusan MK tersebut, apabila hanya satu orang dari pasangan calon melakukan pelanggaran serius seperti politik uang, pelanggaran administratif, atau tindak pidana lainnya, maka hanya individu itu saja yang terkena sanksi diskualifikasi. Sementara pasangannya tetap memiliki hak untuk melanjutkan pencalonan.

Kondisi ini menimbulkan potensi problematika serius dalam sistem pemilu. Pasangan calon bukanlah dua individu yang berdiri sendiri, melainkan satu entitas politik. Bila satu orang melakukan pelanggaran, maka tanggung jawab etik dan hukum seharusnya turut dibebankan kepada keduanya demi menjamin keadilan dan menghindari manipulasi sistem.

Keputusan MK tersebut dapat diinterpretasikan sebagai ketidaktegasan dalam menegakkan prinsip keadilan elektoral. Situasi ini menciptakan celah bagi para aktor politik untuk menyusun strategi yang memperalat hukum—misalnya, dengan sengaja membiarkan satu anggota pasangan melakukan pelanggaran untuk keuntungan kolektif, karena tahu bahwa sanksi hanya akan menimpa individu tersebut.

Pertama, hal ini membuka ruang untuk praktik politik kotor yang lebih tersembunyi dan sulit dijerat oleh hukum. Aktor politik bisa memanfaatkan sistem dengan menjadikan salah satu calon sebagai "kambing hitam" atau "tumbal politik."

Kedua, jika seorang calon yang terbukti melanggar masih bisa digantikan tanpa membatalkan keikutsertaan pasangannya, maka keadilan bagi pasangan calon yang bersaing secara jujur akan tercederai. Ini berpotensi menimbulkan ketimpangan dalam kontestasi dan menurunkan integritas pemilu.

Ketiga, efek jangka panjang dari putusan ini adalah penurunan kepercayaan publik terhadap lembaga pemilu. Publik bisa merasa hukum hanya menyentuh permukaan, tanpa benar-benar memberikan efek jera terhadap pelanggar.

Padahal, dalam praktik sebelumnya, pernah terjadi diskualifikasi terhadap pasangan calon secara keseluruhan jika terbukti melakukan pelanggaran serius. Beberapa pemilihan kepala daerah di masa lalu menunjukkan bahwa tindakan seperti politik uang atau kecurangan terorganisasi dapat berujung pada pembatalan pencalonan seluruh pasangan. Putusan MK yang terbaru justru terkesan melonggarkan standar ini.

Dari sudut pandang hukum, Pasal 22E UUD 1945 mengamanatkan bahwa pemilu harus berlangsung langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Jika salah satu calon dalam pasangan melakukan pelanggaran berat namun pasangan tetap diizinkan maju, maka prinsip kejujuran dan keadilan dalam pemilu menjadi kompromi.

Selanjutnya, dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pasangan calon didefinisikan sebagai satu entitas hukum. Pasal 54D ayat (1) UU Pilkada menyebutkan bahwa apabila salah satu calon berhalangan tetap atau didiskualifikasi sebelum hari pemungutan suara, maka partai pengusung dapat mengajukan pengganti. Namun, aturan ini tidak secara tegas menyebutkan bahwa pasangan tetap bisa maju apabila diskualifikasi terjadi karena pelanggaran berat yang berpotensi memengaruhi hasil pemilu.

Dengan demikian, tidak ada ketentuan hukum yang eksplisit menyatakan bahwa pasangan calon harus tetap bertahan apabila salah satu anggotanya melakukan pelanggaran fatal. Oleh sebab itu, putusan MK terkesan mengabaikan asas kehati-hatian dan konsistensi dalam menjaga marwah demokrasi.

Pasangan calon kepala daerah seharusnya dipandang sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Bila satu pihak dalam pasangan terbukti melanggar, maka keduanya harus menanggung konsekuensinya. Hanya dengan demikian, kita bisa menjaga marwah dan kredibilitas proses demokrasi di tanah air.

Untuk itu, revisi terhadap regulasi yang ada mutlak diperlukan. Perlu penguatan terhadap peran lembaga pengawas pemilu seperti Bawaslu dan DKPP agar pelanggaran dapat diantisipasi sejak awal dan tidak lagi dianggap remeh. Bila tidak, pemilu akan terus menjadi ladang subur bagi praktik manipulatif yang melemahkan fondasi demokrasi. (WA/ Ow)


 

Lebih baru Lebih lama