WARTAALENGKA,
Cianjur – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi perbincangan
hangat setelah mengeluarkan putusan yang dinilai tidak tegas dalam menyikapi
pasangan calon kepala daerah yang tersandung masalah hukum. MK menyatakan bahwa
diskualifikasi hanya dapat diberlakukan kepada individu yang terbukti melakukan
pelanggaran, bukan terhadap keseluruhan pasangan calon. Putusan ini menuai
kritik dan mempertanyakan sejauh mana komitmen lembaga tersebut dalam menjaga
integritas dan keadilan dalam sistem demokrasi kita.
Dalam
konteks pemilihan kepala daerah, pasangan calon diajukan dan dipilih sebagai
satu kesatuan. Namun, dengan putusan MK tersebut, apabila hanya satu orang dari
pasangan calon melakukan pelanggaran serius seperti politik uang, pelanggaran
administratif, atau tindak pidana lainnya, maka hanya individu itu saja yang
terkena sanksi diskualifikasi. Sementara pasangannya tetap memiliki hak untuk
melanjutkan pencalonan.
Kondisi
ini menimbulkan potensi problematika serius dalam sistem pemilu. Pasangan calon
bukanlah dua individu yang berdiri sendiri, melainkan satu entitas politik.
Bila satu orang melakukan pelanggaran, maka tanggung jawab etik dan hukum
seharusnya turut dibebankan kepada keduanya demi menjamin keadilan dan
menghindari manipulasi sistem.
Keputusan
MK tersebut dapat diinterpretasikan sebagai ketidaktegasan dalam menegakkan
prinsip keadilan elektoral. Situasi ini menciptakan celah bagi para aktor
politik untuk menyusun strategi yang memperalat hukum—misalnya, dengan sengaja
membiarkan satu anggota pasangan melakukan pelanggaran untuk keuntungan
kolektif, karena tahu bahwa sanksi hanya akan menimpa individu tersebut.
Pertama,
hal ini membuka ruang untuk praktik politik kotor yang lebih tersembunyi dan
sulit dijerat oleh hukum. Aktor politik bisa memanfaatkan sistem dengan
menjadikan salah satu calon sebagai "kambing hitam" atau "tumbal
politik."
Kedua,
jika seorang calon yang terbukti melanggar masih bisa digantikan tanpa
membatalkan keikutsertaan pasangannya, maka keadilan bagi pasangan calon yang
bersaing secara jujur akan tercederai. Ini berpotensi menimbulkan ketimpangan
dalam kontestasi dan menurunkan integritas pemilu.
Ketiga,
efek jangka panjang dari putusan ini adalah penurunan kepercayaan publik
terhadap lembaga pemilu. Publik bisa merasa hukum hanya menyentuh permukaan,
tanpa benar-benar memberikan efek jera terhadap pelanggar.
Padahal,
dalam praktik sebelumnya, pernah terjadi diskualifikasi terhadap pasangan calon
secara keseluruhan jika terbukti melakukan pelanggaran serius. Beberapa
pemilihan kepala daerah di masa lalu menunjukkan bahwa tindakan seperti politik
uang atau kecurangan terorganisasi dapat berujung pada pembatalan pencalonan
seluruh pasangan. Putusan MK yang terbaru justru terkesan melonggarkan standar
ini.
Dari
sudut pandang hukum, Pasal 22E UUD 1945 mengamanatkan bahwa pemilu harus
berlangsung langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Jika salah satu
calon dalam pasangan melakukan pelanggaran berat namun pasangan tetap diizinkan
maju, maka prinsip kejujuran dan keadilan dalam pemilu menjadi kompromi.
Selanjutnya,
dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang
Pilkada, pasangan calon didefinisikan sebagai satu entitas hukum. Pasal 54D
ayat (1) UU Pilkada menyebutkan bahwa apabila salah satu calon berhalangan
tetap atau didiskualifikasi sebelum hari pemungutan suara, maka partai
pengusung dapat mengajukan pengganti. Namun, aturan ini tidak secara tegas
menyebutkan bahwa pasangan tetap bisa maju apabila diskualifikasi terjadi
karena pelanggaran berat yang berpotensi memengaruhi hasil pemilu.
Dengan
demikian, tidak ada ketentuan hukum yang eksplisit menyatakan bahwa pasangan
calon harus tetap bertahan apabila salah satu anggotanya melakukan pelanggaran
fatal. Oleh sebab itu, putusan MK terkesan mengabaikan asas kehati-hatian dan
konsistensi dalam menjaga marwah demokrasi.
Pasangan
calon kepala daerah seharusnya dipandang sebagai satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Bila satu pihak dalam pasangan terbukti melanggar, maka keduanya
harus menanggung konsekuensinya. Hanya dengan demikian, kita bisa menjaga
marwah dan kredibilitas proses demokrasi di tanah air.
Untuk
itu, revisi terhadap regulasi yang ada mutlak diperlukan. Perlu penguatan
terhadap peran lembaga pengawas pemilu seperti Bawaslu dan DKPP agar
pelanggaran dapat diantisipasi sejak awal dan tidak lagi dianggap remeh. Bila
tidak, pemilu akan terus menjadi ladang subur bagi praktik manipulatif yang
melemahkan fondasi demokrasi. (WA/ Ow)