PACARAN KRISTEN: MASIH BOLEH PEGANGAN TANGAN NGGAK, SIH?

 

Sumber Foto: Piqsels

WARTAALENGKA, Cianjur –Di era modern yang semakin terbuka, perbincangan mengenai batasan fisik dalam hubungan pacaran kerap menjadi topik yang ramai dibahas, terutama di kalangan remaja dan pemuda Kristen. Apakah tindakan seperti berpegangan tangan, berpelukan, atau berciuman masih bisa dianggap wajar dalam masa pacaran? Sampai sejauh mana kedekatan fisik masih diterima, dan kapan hal itu mulai menyimpang dari nilai-nilai kekudusan?

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak semata-mata muncul dari rasa ingin tahu, melainkan berasal dari pergolakan batin dan kerinduan akan arah spiritual yang benar. Dalam konteks ini, artikel reflektif berjudul “How Far Is Too Far?” karya Grace Felinna hadir untuk memberikan pandangan mendalam yang tetap relevan dengan kehidupan sehari-hari pasangan muda Kristen.

Kekudusan di Tengah Budaya Bebas

Felinna membuka refleksinya dengan mengamati budaya pacaran saat ini yang cenderung mempermudah ekspresi fisik dalam hubungan. Ia mencatat bahwa banyak pasangan muda memandang sentuhan fisik sebagai bentuk cinta yang sah selama keduanya saling menyayangi. Namun demikian, dari sudut pandang iman Kristen, keintiman fisik bukanlah semata soal rasa nyaman atau suka sama suka.

Berdasarkan 1 Tesalonika 4:3-7, Felinna menekankan bahwa kehendak Allah adalah agar umat-Nya hidup dalam kekudusan dan menjauh dari tindakan yang tidak senonoh. “Tuhan tidak memanggil kita untuk sekadar mengikuti apa yang kita anggap benar, tetapi untuk hidup sesuai dengan standar kekudusan-Nya,” tulis Felinna.

Sentuhan fisik yang terlihat sederhana pun bisa menjadi celah bagi kejatuhan moral. “Nafsu seksual itu seperti api. Ia bisa memberikan kehangatan, tapi bila tidak dikendalikan, dapat membakar habis seluruh rumah,” ungkap Felinna dalam bagian lain tulisannya.

Tubuh Bukan Milik Sendiri 

Felinna kemudian mengangkat pesan penting dari 1 Korintus 6:19-20 yang menyatakan bahwa tubuh orang percaya adalah bait Roh Kudus. Pandangan ini menantang cara berpikir umum yang melihat tubuh sebagai hak pribadi yang bisa digunakan sesuai keinginan.

“Jika tubuh adalah milik Allah, maka setiap hal yang kita lakukan dengan tubuh—termasuk dalam menunjukkan kasih saat pacaran—harus mencerminkan kehendak dan karakter Allah,” tulisnya menjelaskan.

Dengan kata lain, persoalannya bukan pada “apa yang boleh atau tidak boleh kita lakukan,” tetapi pada “apa yang Tuhan kehendaki atas tubuh yang telah ditebus-Nya.”

Tidak Ada Aturan Kaku, Tapi Ada Prinsip Tegas 

Dalam tulisannya, Felinna menekankan bahwa tidak ada batasan fisik yang bersifat mutlak dan berlaku sama untuk semua pasangan, karena masing-masing relasi memiliki dinamika berbeda. Namun, ia menawarkan tiga prinsip utama yang dapat dijadikan pedoman:

Apakah tindakan ini membawa saya lebih dekat kepada Tuhan?

Apakah ini menunjukkan rasa hormat kepada pasangan saya sebagai pribadi, bukan objek dari hasrat?

Apakah ini memperkuat relasi dalam terang kekudusan, atau justru merusaknya?

Menurut Felinna, pacaran bukan hanya proses mengenal secara emosional dan fisik, melainkan sebuah perjalanan spiritual menuju pernikahan. Oleh karena itu, batasan fisik perlu diletakkan dalam kerangka panggilan hidup yang lebih besar: menjalani kehidupan yang kudus dan penuh kasih yang murni.

Menjaga Diri Bukan Tanda Lemah, Tapi Tanda Cinta 

Felinna menutup tulisannya dengan ajakan yang lembut namun tegas: bahwa menjaga diri dalam masa pacaran bukanlah bentuk ketakutan atau ketertinggalan moral, melainkan merupakan wujud kedewasaan iman dan kasih yang sejati.

“Kalau cinta itu tulus, ia tidak akan terburu-buru untuk menguasai. Ia akan sabar menjaga dan menanti hingga waktunya tiba dalam pernikahan yang kudus,” tulisnya.

Di tengah dunia yang serba cepat dan penuh kebebasan, pesan seperti ini mungkin terdengar asing. Namun justru karena itu, suara semacam ini menjadi sangat berharga—terutama bagi pemuda Kristen yang mendambakan hubungan yang tidak hanya sehat secara emosional, tetapi juga benar di hadapan Tuhan.

Bagi Anda yang sedang dalam sebuah hubungan, atau membimbing anak-anak muda di lingkungan gereja, mungkin inilah saatnya untuk berhenti sejenak dan bertanya dalam hati:

“Apakah hubungan ini membawa kami semakin dekat pada kekudusan, atau malah menjauh dari Tuhan?” (WA/ Ow)

Sumber: How Far Is Too Far? oleh Grace Felinna, Jurnal Teologi dan Spiritualitas Remaja Kristen, 2021

Lebih baru Lebih lama