WARTAALENGKA,
Cianjur –Di era modern yang semakin terbuka, perbincangan
mengenai batasan fisik dalam hubungan pacaran kerap menjadi topik yang ramai
dibahas, terutama di kalangan remaja dan pemuda Kristen. Apakah tindakan
seperti berpegangan tangan, berpelukan, atau berciuman masih bisa dianggap
wajar dalam masa pacaran? Sampai sejauh mana kedekatan fisik masih diterima,
dan kapan hal itu mulai menyimpang dari nilai-nilai kekudusan?
Pertanyaan-pertanyaan
ini tidak semata-mata muncul dari rasa ingin tahu, melainkan berasal dari
pergolakan batin dan kerinduan akan arah spiritual yang benar. Dalam konteks
ini, artikel reflektif berjudul “How Far Is Too Far?” karya Grace Felinna hadir
untuk memberikan pandangan mendalam yang tetap relevan dengan kehidupan
sehari-hari pasangan muda Kristen.
Kekudusan
di Tengah Budaya Bebas
Felinna
membuka refleksinya dengan mengamati budaya pacaran saat ini yang cenderung
mempermudah ekspresi fisik dalam hubungan. Ia mencatat bahwa banyak pasangan
muda memandang sentuhan fisik sebagai bentuk cinta yang sah selama keduanya
saling menyayangi. Namun demikian, dari sudut pandang iman Kristen, keintiman
fisik bukanlah semata soal rasa nyaman atau suka sama suka.
Berdasarkan
1 Tesalonika 4:3-7, Felinna menekankan bahwa kehendak Allah adalah agar
umat-Nya hidup dalam kekudusan dan menjauh dari tindakan yang tidak senonoh.
“Tuhan tidak memanggil kita untuk sekadar mengikuti apa yang kita anggap benar,
tetapi untuk hidup sesuai dengan standar kekudusan-Nya,” tulis Felinna.
Sentuhan
fisik yang terlihat sederhana pun bisa menjadi celah bagi kejatuhan moral.
“Nafsu seksual itu seperti api. Ia bisa memberikan kehangatan, tapi bila tidak
dikendalikan, dapat membakar habis seluruh rumah,” ungkap Felinna dalam bagian
lain tulisannya.
Tubuh
Bukan Milik Sendiri
Felinna
kemudian mengangkat pesan penting dari 1 Korintus 6:19-20 yang menyatakan bahwa
tubuh orang percaya adalah bait Roh Kudus. Pandangan ini menantang cara
berpikir umum yang melihat tubuh sebagai hak pribadi yang bisa digunakan sesuai
keinginan.
“Jika
tubuh adalah milik Allah, maka setiap hal yang kita lakukan dengan
tubuh—termasuk dalam menunjukkan kasih saat pacaran—harus mencerminkan kehendak
dan karakter Allah,” tulisnya menjelaskan.
Dengan
kata lain, persoalannya bukan pada “apa yang boleh atau tidak boleh kita
lakukan,” tetapi pada “apa yang Tuhan kehendaki atas tubuh yang telah
ditebus-Nya.”
Tidak
Ada Aturan Kaku, Tapi Ada Prinsip Tegas
Dalam
tulisannya, Felinna menekankan bahwa tidak ada batasan fisik yang bersifat
mutlak dan berlaku sama untuk semua pasangan, karena masing-masing relasi
memiliki dinamika berbeda. Namun, ia menawarkan tiga prinsip utama yang dapat
dijadikan pedoman:
Apakah
tindakan ini membawa saya lebih dekat kepada Tuhan?
Apakah
ini menunjukkan rasa hormat kepada pasangan saya sebagai pribadi, bukan objek
dari hasrat?
Apakah
ini memperkuat relasi dalam terang kekudusan, atau justru merusaknya?
Menurut
Felinna, pacaran bukan hanya proses mengenal secara emosional dan fisik,
melainkan sebuah perjalanan spiritual menuju pernikahan. Oleh karena itu,
batasan fisik perlu diletakkan dalam kerangka panggilan hidup yang lebih besar:
menjalani kehidupan yang kudus dan penuh kasih yang murni.
Menjaga
Diri Bukan Tanda Lemah, Tapi Tanda Cinta
Felinna
menutup tulisannya dengan ajakan yang lembut namun tegas: bahwa menjaga diri
dalam masa pacaran bukanlah bentuk ketakutan atau ketertinggalan moral,
melainkan merupakan wujud kedewasaan iman dan kasih yang sejati.
“Kalau
cinta itu tulus, ia tidak akan terburu-buru untuk menguasai. Ia akan sabar
menjaga dan menanti hingga waktunya tiba dalam pernikahan yang kudus,”
tulisnya.
Di
tengah dunia yang serba cepat dan penuh kebebasan, pesan seperti ini mungkin
terdengar asing. Namun justru karena itu, suara semacam ini menjadi sangat
berharga—terutama bagi pemuda Kristen yang mendambakan hubungan yang tidak
hanya sehat secara emosional, tetapi juga benar di hadapan Tuhan.
Bagi
Anda yang sedang dalam sebuah hubungan, atau membimbing anak-anak muda di
lingkungan gereja, mungkin inilah saatnya untuk berhenti sejenak dan bertanya
dalam hati:
“Apakah
hubungan ini membawa kami semakin dekat pada kekudusan, atau malah menjauh dari
Tuhan?” (WA/ Ow)
Sumber: How Far Is Too Far? oleh Grace Felinna, Jurnal Teologi dan Spiritualitas Remaja Kristen, 2021