WARTAALENGKA,
Cianjur – Satu demi satu borok dunia peradilan di Indonesia
terbongkar. Kasus dugaan suap yang menjerat sejumlah hakim di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat (PN Jakpus) dan Surabaya bukan hanya menunjukkan lemahnya
integritas aparat peradilan, tapi juga memperkuat dugaan kuat bahwa mafia hukum
bukanlah isapan jempol belaka.
Kejaksaan
Agung (Kejagung) mengungkap adanya keterkaitan mencolok antara dua perkara
besar yang belakangan menyeret empat hakim PN Jakpus dan sejumlah pihak di PN
Surabaya. Keduanya diduga kuat menjadi bagian dari jaringan praktik jual beli
perkara yang dikendalikan oleh kelompok mafia peradilan.
Pusat
Penerangan Hukum Kejagung menyampaikan bahwa benang merah dari kasus ini
terlihat dari pola vonis bebas yang diberikan terhadap terdakwa Gregorius
Ronald Tannur, pelaku penganiayaan yang menewaskan Dini Sera Afrianti, dan
kasus suap dalam perkara korupsi fasilitas ekspor crude palm oil (CPO).
“Penyidik
menduga ada ketidakwajaran dalam putusan bebas tersebut. Dugaan ini diperkuat
dengan temuan digital dari barang bukti yang mengarah pada pihak-pihak
tertentu,” ujar Harli Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung.
Dalam
kasus CPO, tiga hakim yakni Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom
dijatuhi status tersangka setelah memutus lepas tiga korporasi terdakwa.
Sementara itu, Marcella Santoso, kuasa hukum dari salah satu korporasi, turut
menjadi tersangka atas dugaan peran sentralnya dalam menyuap hakim.
Kejagung
juga menetapkan Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta serta panitera Wahyu
Gunawan sebagai tersangka. Diduga, total uang yang diterima mencapai angka
fantastis Rp 60 miliar—angka yang menjadi simbol kuat tentang bobroknya
integritas di ruang sidang.
Sementara
di Surabaya, tiga hakim yang memvonis bebas Ronald Tannur, yakni Erintuah
Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul, juga ikut dicokok Kejagung. Mereka diduga
menerima uang masing-masing 48 ribu dan 140 ribu dolar Singapura.
Penyelidikan
pun menyeret nama besar lainnya—mantan Ketua PN Surabaya Rudi Suparmono—yang
diduga menerima suap 20 ribu dolar Singapura dari Erintuah. Namun yang lebih
mencengangkan adalah keterlibatan mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar.
Zarof
diduga menjadi penghubung utama antara pihak kuasa hukum dan para hakim. Di
kediamannya, penyidik menemukan uang tunai senilai sekitar Rp 920 miliar serta
emas seberat 51 kilogram. Nilai fantastis tersebut menguatkan dugaan bahwa ia
bukan sekadar perantara biasa, melainkan bagian vital dari sistem jual beli
keadilan.
Sayangnya,
hingga kini, Kejagung belum mengungkap sumber pasti dari dana dan logam mulia
tersebut. Pertanyaan besar pun menggantung: dari kasus mana saja uang itu
berasal, dan siapa saja pihak yang turut terlibat?
Peneliti
dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur
Rohman, menilai kasus ini hanya puncak dari gunung es yang lebih besar. “Sudah
sejak lama praktik jual beli perkara terjadi di balik meja pengadilan. Jejak
digital Zarof hanyalah sebagian kecil dari jaringan besar yang belum
tersentuh,” ujar Zaenur.
Menurutnya,
sistem pengawasan terhadap hakim masih sangat lemah. Badan Pengawas MA dinilai
tidak memiliki kapasitas untuk menjangkau praktik penyalahgunaan wewenang,
sedangkan Komisi Yudisial terbatas hanya pada pelanggaran etika, bukan
substansi putusan.
Zaenur
juga menyoroti lemahnya transparansi dan akuntabilitas di tubuh peradilan.
“Kewenangan besar tanpa pengawasan yang efektif membuka ruang bagi praktik
korup. Apalagi ketika sanksi terhadap pelaku tidak setimpal dan pengungkapannya
tidak tuntas,” tambahnya.
Di
sisi lain, Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, menilai
Kejagung cenderung lebih tegas dalam kasus PN Jakpus dibanding kasus Zarof
Ricar. Ia menyayangkan belum diungkapnya asal-usul dana Rp 920 miliar serta 51
kilogram emas yang disita dari rumah Zarof.
Sugeng
menilai Zarof berperan sebagai “penjaga gerbang” atau penyimpan dana yang
digunakan untuk mengamankan perkara. Dalam banyak kasus korupsi di luar negeri,
figur seperti ini lazim dijumpai dan kerap menjadi kunci dalam mengungkap siapa
aktor utamanya.
Meskipun
demikian, Sugeng mengapresiasi langkah Kejagung yang berani mengungkap skandal
besar ini. Ia meyakini bahwa keberanian ini akan meningkatkan kepercayaan
publik terhadap hukum, asalkan penanganannya tidak berhenti di permukaan saja.
Saat
ini penyidik masih mendalami asal usul dana suap sebesar Rp 60 miliar yang
diberikan tersangka Aryanto kepada Ketua PN Jaksel Arif Nuryanta melalui
panitera Wahyu Gunawan. Dari total uang tersebut, Rp 22 miliar diketahui telah
dibagikan ke sejumlah hakim, sementara sisanya masih diselidiki.
“Apakah
benar semua berasal dari Aryanto, atau ada pihak lain yang ikut menyumbang? Itu
yang sedang kami telusuri,” ungkap Harli Siregar.
Desakan
untuk reformasi menyeluruh pun kembali menggema. Zaenur menegaskan perlunya
peta jalan reformasi hukum nasional, yang tidak hanya menargetkan individu tapi
membongkar struktur dan budaya institusi peradilan.
Ia menilai bahwa Mahkamah Agung tidak bisa membenahi dirinya sendiri. “Reformasi ini harus dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo. Tanpa komitmen dari puncak kepemimpinan negara, praktik mafia hukum hanya akan berpindah tempat,” pungkas Zaenur. (WA/ Ow)
Sumber: Kompas.com