MEMBONGKAR BENANG KUSUT MAFIA PERADILAN: DARI SUAP HAKIM HINGGA TUMPUKAN EMAS DI RUMAH ZAROF RICAR

Sumber Foto: Liputan6.com/Nanda Perdana Putra

WARTAALENGKA, Cianjur – Satu demi satu borok dunia peradilan di Indonesia terbongkar. Kasus dugaan suap yang menjerat sejumlah hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dan Surabaya bukan hanya menunjukkan lemahnya integritas aparat peradilan, tapi juga memperkuat dugaan kuat bahwa mafia hukum bukanlah isapan jempol belaka.

Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap adanya keterkaitan mencolok antara dua perkara besar yang belakangan menyeret empat hakim PN Jakpus dan sejumlah pihak di PN Surabaya. Keduanya diduga kuat menjadi bagian dari jaringan praktik jual beli perkara yang dikendalikan oleh kelompok mafia peradilan.

Pusat Penerangan Hukum Kejagung menyampaikan bahwa benang merah dari kasus ini terlihat dari pola vonis bebas yang diberikan terhadap terdakwa Gregorius Ronald Tannur, pelaku penganiayaan yang menewaskan Dini Sera Afrianti, dan kasus suap dalam perkara korupsi fasilitas ekspor crude palm oil (CPO).

“Penyidik menduga ada ketidakwajaran dalam putusan bebas tersebut. Dugaan ini diperkuat dengan temuan digital dari barang bukti yang mengarah pada pihak-pihak tertentu,” ujar Harli Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung.

Dalam kasus CPO, tiga hakim yakni Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom dijatuhi status tersangka setelah memutus lepas tiga korporasi terdakwa. Sementara itu, Marcella Santoso, kuasa hukum dari salah satu korporasi, turut menjadi tersangka atas dugaan peran sentralnya dalam menyuap hakim.

Kejagung juga menetapkan Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta serta panitera Wahyu Gunawan sebagai tersangka. Diduga, total uang yang diterima mencapai angka fantastis Rp 60 miliar—angka yang menjadi simbol kuat tentang bobroknya integritas di ruang sidang.

Sementara di Surabaya, tiga hakim yang memvonis bebas Ronald Tannur, yakni Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul, juga ikut dicokok Kejagung. Mereka diduga menerima uang masing-masing 48 ribu dan 140 ribu dolar Singapura.

Penyelidikan pun menyeret nama besar lainnya—mantan Ketua PN Surabaya Rudi Suparmono—yang diduga menerima suap 20 ribu dolar Singapura dari Erintuah. Namun yang lebih mencengangkan adalah keterlibatan mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar.

Zarof diduga menjadi penghubung utama antara pihak kuasa hukum dan para hakim. Di kediamannya, penyidik menemukan uang tunai senilai sekitar Rp 920 miliar serta emas seberat 51 kilogram. Nilai fantastis tersebut menguatkan dugaan bahwa ia bukan sekadar perantara biasa, melainkan bagian vital dari sistem jual beli keadilan.

Sayangnya, hingga kini, Kejagung belum mengungkap sumber pasti dari dana dan logam mulia tersebut. Pertanyaan besar pun menggantung: dari kasus mana saja uang itu berasal, dan siapa saja pihak yang turut terlibat?

Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, menilai kasus ini hanya puncak dari gunung es yang lebih besar. “Sudah sejak lama praktik jual beli perkara terjadi di balik meja pengadilan. Jejak digital Zarof hanyalah sebagian kecil dari jaringan besar yang belum tersentuh,” ujar Zaenur.

Menurutnya, sistem pengawasan terhadap hakim masih sangat lemah. Badan Pengawas MA dinilai tidak memiliki kapasitas untuk menjangkau praktik penyalahgunaan wewenang, sedangkan Komisi Yudisial terbatas hanya pada pelanggaran etika, bukan substansi putusan.

Zaenur juga menyoroti lemahnya transparansi dan akuntabilitas di tubuh peradilan. “Kewenangan besar tanpa pengawasan yang efektif membuka ruang bagi praktik korup. Apalagi ketika sanksi terhadap pelaku tidak setimpal dan pengungkapannya tidak tuntas,” tambahnya.

Di sisi lain, Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, menilai Kejagung cenderung lebih tegas dalam kasus PN Jakpus dibanding kasus Zarof Ricar. Ia menyayangkan belum diungkapnya asal-usul dana Rp 920 miliar serta 51 kilogram emas yang disita dari rumah Zarof.

Sugeng menilai Zarof berperan sebagai “penjaga gerbang” atau penyimpan dana yang digunakan untuk mengamankan perkara. Dalam banyak kasus korupsi di luar negeri, figur seperti ini lazim dijumpai dan kerap menjadi kunci dalam mengungkap siapa aktor utamanya.

Meskipun demikian, Sugeng mengapresiasi langkah Kejagung yang berani mengungkap skandal besar ini. Ia meyakini bahwa keberanian ini akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap hukum, asalkan penanganannya tidak berhenti di permukaan saja.

Saat ini penyidik masih mendalami asal usul dana suap sebesar Rp 60 miliar yang diberikan tersangka Aryanto kepada Ketua PN Jaksel Arif Nuryanta melalui panitera Wahyu Gunawan. Dari total uang tersebut, Rp 22 miliar diketahui telah dibagikan ke sejumlah hakim, sementara sisanya masih diselidiki.

“Apakah benar semua berasal dari Aryanto, atau ada pihak lain yang ikut menyumbang? Itu yang sedang kami telusuri,” ungkap Harli Siregar.

Desakan untuk reformasi menyeluruh pun kembali menggema. Zaenur menegaskan perlunya peta jalan reformasi hukum nasional, yang tidak hanya menargetkan individu tapi membongkar struktur dan budaya institusi peradilan.

Ia menilai bahwa Mahkamah Agung tidak bisa membenahi dirinya sendiri. “Reformasi ini harus dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo. Tanpa komitmen dari puncak kepemimpinan negara, praktik mafia hukum hanya akan berpindah tempat,” pungkas Zaenur. (WA/ Ow)

Sumber: Kompas.com

Lebih baru Lebih lama